Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Masokisme dan Sadomasokisme Seksual

1. PENGERTIAN
a. Masokisme Seksual
Masokisme seksual (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria, Leopold Ritter von Sacher- Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk).
Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan, diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Pada sejumlah kasus masokisme seksual, orang tersebut tidak dapat mencapai kepuasan seksual jika tidak ada rasa sakit atau malu.
Pada sejumlah kasus, masokisme seksual melibatkan situasi mengikat atau menyakiti diri sendiri pada saat masturbasi atau berfantasi seksual. Pada kasus lain, pasangan diminta untuk mengikat (membatasi gerak), menutup mata (membatasi sensori), memukul, atau mencambuk seseorang. Sejumlah pasangan adalah pekerja seks, yang lain adalah pasangan resmi yang diminta untuk melakukan peran sadistis. Kelainan seksual masokisme melibatkan kebutuhan akan penghinaan, pemukulan atau penderitaan lainnya yang nyata, bukan pura-pura. yang dilakukan oleh mitra seksualnya untuk membangkitkan gairah seksualnya. Pada sejumlah kasus, orang tersebut mungkin menginginkan untuk dikencingi atau diberaki atau menjadi objek penganiayaan verbal dengan tujuan mendapat kepuasan seksual. Misalnya penyimpangan aktivitas seksual yang berupa asfiksiofilia, dimana penderita dicekik atau dijerat (baik oleh mitra seksualnya maupun oleh dirinya sendiri). Berkurangnya pasokan oksigen ke otak yang bersifat sementara pada saat mengalami orgasme, dicari sebagai penambahan kenikmatan seksual; tetapi cara tersebut bisa secara tidak sengaja menyebabkan kematian.
Ekspresi masokisme yang paling berbahaya adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastic, bahan kimia, atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. Pengurangan oksigen biasanya disertai dengan fantasi sesak napas atau dengan dibuat sesak napas oleh pasangan. Orang yang melakukan aktivitas ini biasanya menghentikannya sebelum mereka kehilangan kesadaran, tetapi terkadang kematian karena kehabisan napas juga terjadi akibat salah perhitungan (Blanchard & Hucker, 1991).
b. Sadisme Seksual
Sadisme seksual (sexual sadism) dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade (1740-1814), pria Prancis pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual ditandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, objek yang disakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri. Sadisme seksual adalah sisi kebalikan dari masokisme seksual. Sadisme seksual melibatkan dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi terkait untuk melakukan suatu tindakan dimana seseorang dapat terangsang secara seksual dengan menyebabkan penderitaan fisik atau rasa malu pada orang lain. Orang dengan parafilia jenis ini ada yang mewujudkan fantasi mereka atau malah terganggu dengan adanya fantasi tersebut. Mereka dapat mencari pasangan yang sejalan, bias jadi kekasih atau istri dengan kelainan masokistik, atau bias juga pekerja seks. Akan tetapi, ada juga yang mengintai dan menyerang korban tanpa izin dan menjadi terangsang dengan memberikan rasa sakit atau penderitaan pada korban mereka. Pemerkosa sadistic terdapat pada kelompok terakhir ini. Namun, kebanyakan pemerkosa tidak mencari rangsangan seksual dengan menyakiti korban mereka; mereka bahkan dapat kehilangan hasrat seksual ketika melihat korban mereka kesakitan.
Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan mayat (Gratzer & Bradford, 1995).
c. Sadomasokisme Seksual
Kata sadomasokis itu adalah gabungan dari sadis dan masokis. Masokisme adalah kecenderungan yang tidak normal untuk mendapatkan kesenangan karena disakiti orang lain. Masokis adalah orang yang mendapat kesenangan karena atau dengan cara disakiti orang lain. Karena pada pelaksanaan hubungan seksual itu berpasangan (antara pria dan wanita), maka disebutlah sadomasokisme. Artinya, lebih pada wanita yang jadi korbannya.
Banyak orang memiliki fantasi sadistik atau masokistik pada saat-saat tertentu atau melakukan permainan seks yang melibatkan simulasi atau bentuk ringan sadomasokisme (sadomasokchism) dengan pasangan mereka. Sadomasokisme menggambarkan interaksi seksual yang secara mutual memuaskan yang melibatkan baik tindakan sadistik dan masokistik. Kelainan ini bisa juga disebut S-M, yaitu sebutan untuk penderita sadisme yang melakukan hubungan seksual dengan masokisme. Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan sikat bulu untuk menyerang pasangan, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit yang sebenarnya. Orang yang terlibat dalam sadomasokisme biasanya saling bertukar peran saat melakukan aktivitas seksual atau dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Diagnosis klinis untuk masokisme atau sadisme seksual biasanya tidak diberikan kecuali jika orang tersebut merasa tertekan akibat perilaku atau fantasinya, atau tindakannya membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Ferryal (dalam okezone.com, 2008) menuturkan, sadomasokis ini berbahaya atau tidaknya dilihat apabila seorang sadistis bertemu dengan seorang masokis. Alasannya, karena keduanya klop dan saling mengisi. Tetapi jika salah satu bertemu dengan orang normal, barulah di sini akan menjadi masalah.
Bahayanya, jika orang normal jelas akan tersakiti kalau dia bertemu seorang sadistis. Karena, dia akan mengalami kesakitan fisik maupun psikis. Kedua kondisi ini termasuk kelainan seksual yang berhubungan dengan kejiwaan.
Pada seseorang yang mempunyai penyakit sadomasokis, jelas Ferryal, jika dilihat dari segi fisik (luar) maka tidak akan tampak suatu kelainan. Kelainan akan terlihat saat masuk dalam fase aktivitas seksualnya sendiri. Psikolog yang juga seksolog dari Universitas Diponegoro Semarang, Dra Hastaning Sakti, Psikolog, M Kes, menjelaskan, sadomasokis termasuk salah satu gangguan deviasi atau penyimpangan seksual. Sado atau sadism biasanya dilakukan oleh pria terhadap wanita dengan cara menganiaya.
Menurut Hasta (dalam okezon.com, 2008), Psikolog yang juga pengajar di Fakultas Psikologi UNDIP, apabila dari sudut pandang kesehatan reproduksi wanita, sadomasokis ini sangat berbahaya. Kenapa mau-maunya cewek atau wanita diperlakukan dengan cara diikat atau dipaksa dengan cara yang tidak wajar. Dia juga menambahkan, kalau mau sama mau dan itu pilihan mereka, maka secara psikologis tidak berbahaya. Namun, akan menjadi berbahaya manakala mereka tahu akan bahaya atau efek samping luka vagina dan kemungkinan tertularnya PMS, HIV, dan AIDS. Hasta menjelaskan, dalam sadomasokisme, sepertinya tidak ada yang menderita dan tidak ada yang jadi korban. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Sadomasokis termasuk dalam gangguan penyimpangan seksual, karena dinilai secara sosial tidak wajar.
Ciri-ciri Sadomasokisme Seksual
Ciri utama dari sadomasokis adalah munculnya nafsu birahi melalui rasa sakit. Ini jelas berbeda dengan orang normal yang birahinya lenyap justru kalau sedang sakit. Bagi penderita ini, rasa sakit merupakan pengalaman sensasional yang mendebarkan, merangsang dan membangkitkan libido seksual. Disebut sadomasokis karena ada dua pihak yang terlibat dalam perilaku seks aneh ini.
Pihak sadis adalah pasangan yang memberikan rasa sakit atau hukuman, misalnya memukul dengan cemeti, mengikat dengan tali atau rantai, menyundut dengan rokok, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak masokis adalah orang yang menerima rasa sakit, penghinaan atau orang yang dikendalikan oleh pasangannya.
Umumnya, pasangan seksual sadomasokis terjadi dalam konteks yang mirip hukuman atasan-bawahan, yang meniru interaksi antara tuan atau nyonya dengan budaknya, majikan dan pelayannya, guru dan murid, pemilik dan anjing atau kudanya, dan orang tua dengan anaknya.
Sadomasokis biasanya mengenakan pakaian kulit hitam atau karet. Beberapa pria gay dan heteroseksual terlibat dalam semacam sadomasokisme yang dikenal dengan nama leathersex dengan mengenakan rantai kunci atau sapu tangan berwarna melambangkan peran yang dimainkan. Bila dia mengenakan kunci di bagian kiri menunjukkan bahwa orang tersebut berperan sebagai si sadis, dan pada sisi kanan menunjukkan bahwa orang ini lebih suka sebagai si masokis. Anehnya lagi, penderita sadomasokis suka bertukar peran. Kadang-kadang si A jadi si sadis, si B masokis. Tak lama kemudian pada kesempatan sama atau berbeda, mereka berganti peran; si A menjadi si B dan sebaliknya. Dalam bentuk yang lebih lunak, tanpa kekejaman yang jelas atau hukuman badaniah, sikap dominan dan sikap tunduk bisa ditemukan pada banyak pasangan, atau mungkin merupakan elemen fantasi kehidupan.
Meskipun tindakan sadomasokistik dalam bentuk yang sangat ekstrim dapat membahayakan fisik maupun psikologis, kebanyakan orang yang terlibat dalam perilaku seperti ini melakukannya dan paham terhadap resiko serta menjaga batas-batas yang telah ditentukan secara hati-hati. Mereka biasanya sadar tindakan sadis apa yang bisa membahayakan sang masokis, partner seksnya
2. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
- Pemaparan seks yang prematur, atau traumatik, dalam bentuk penyiksan seksual masa anak-anak. Kira-kira 75 persen laki-laki yang diterapi di National Institute for Study, Prevention, and Treatment Sexual di Baltimore, adalah korban penyiksaan seksual pada masa anak-anaknya. Karena alasan yang amsih belum dimengerti, jika seorang anak perempuan disiksa, mereka lebih sering terinhibisi secara seksual. Sedangkan anak laki-laki yang disiksa cenderung mewujudkan perilaku parafilia.
- Supresi berlebihan terhadap keingintahuan alami tentang seks, karena alasan religius atau alasan lain. Anak laki-laki yang diajari bahwa seks tabu, kotor dan dihukum karena minatnya terhadap seks, mungkin menjadi laki-alki dengan perilaku fetihisme atau obsesi. Represi parah tidak dianggap sebagi suatu bentuk penyiksaan seksual, tetapi bisa jadi demikian.
Pandangan Psikodinamik
Menurut pandangan psikodinamik, parafilia jenis ini pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual.
Pandangan Behavioral dan Kognitif
Seringkali orang dengan parafilia jenis ini mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun.
Distorsi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.
Dijelaskan Ferryal (dalam okezone.com, 2008), penyebabnya bisa ditimbulkan dari berbagai hal. Tetapi umumnya ada suatu trauma kejiwaan yang berhubungan dengan aktivitas seksual saat si penderita dalam masa pertumbuhan.
Menurut Sigmund Freud, kemampuan penderita masokisme untuk mencapai orgasme terganggu oleh kecemasan dan perasaan bersalah tentang seks dan perasaan tersebut dihilangkan oleh penderitaan dan hukuman pada diri mereka sendiri.
Pada beberapa pasangan, sering seorang istri akhirnya menerima perlakuan suami. Bukan karena dia suka atau ikhlas melainkan karena agama mengharuskan dia menurut kepada suaminya. Dalam pandangan psikologis, ini tidak benar. Yang didapat bukan saya oke kamu oke, tapi kamu nikmat saya menderita. Yang sering terjadi pada kasus ini, sekian tahun lamanya akhirnya istrinya tidak lagi melayani suami dengan cara seperti itu. Ujung-ujungnya terjadi pertikaian dan perceraian.
Umumnya baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki devisiasi seksual ini memiliki trauma-trauma dalam kehidupannya sebelum menikah.
Biasanya ada latar belakang dan umumnya mereka datang dari keluarga broken home. Broken home di sini bukan berarti keluarga yang tercerai berai karena perceraian saja, tetapi lebih pada visualisasi yang pernah ia saksikan pada keluarganya. Mungkin dia pernah melihat ibunya disiksa oleh ayahnya atau sebaliknya. Bisa juga perlakuan kasar yang diterimanya dari orang tuanya.
Terjadinya masalah pelecehan seksual di masa kecil juga bisa berpengaruh pada perilaku seksualnya kelak. Seorang anak laki-laki yang pernah dilecehkan secara sodomi, mungkin akan membalaskan dendam kepada orang lain yang berujung dia mendapatkan kepuasannya melalui cara itu. Selain itu, tayangan media juga berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang
Bahaya Pornografi via Internet
Sekitar 97 persen anak mengaku sudah pernah mengakses situs porno di internet, baik situs lokal maupun asing yang masuk kategori terlarang untuk anak usia kurang dari 15 tahun. Berdasarkan penelitian terbatas yang dilakukan Jejak Kaki Internet Protection di Jakarta tahun 2007, sekitar 97 persen anak usia antara 9-14 tahun mengaku sudah pernah mengakses situs porno di internet.
Menurut dia, hingga saat ini lebih dari 1100 situs lokal terlarang ditemukan di dunia maya. Situs terlarang itu terdiri dari situs kalimat-kalimat porno berbahasa Indonesia dan Melayu, 200 situs foto porno yang menampilkan orang-orang Indonesia, 200 situs kategori nonpornografi yang mengandung kekerasan, judi, dan kegiatan negatif lainnya, serta 100 situs domain dengan nama potensial yang biasa dipakai situs terlarang.
Psikolog Ike R Sugianto (dalam Men’s Guide, 2007) mengatakan, efek psikologis pornografi dari internet bagi anak sangat memicu perkembangan kelainan seksual mereka. Ia menambahkan, anak yang mengenal pornografi sejak dini akan cenderung menjadi antisosial, tidak setia, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak sensitif, memicu kelainan seksual, dan menimbulkan kecanduan mengakses internet terutama pada situs game dan porno.
Berbagai variasi games komputer kadang luput dari pengawasan orang tua. Padahal kadang games sarat dengan unsur kekerasan dan agresivitas yang memicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis pada diri anak. Kecanduan bermain internet pada anak bisa dihindari sejak awal, jika sejak awal orangtua mampu memberi pengertian dan pemahaman tentang segala dampak dari penggunaan berbagai situs yang dapat dengan mudah diakses.
Penyimpangan itu ada, akses yang sangat bebas dan pemikiran yang dangkal akan mempercepat munculnya penyimpangan tersebut.
Pengaruh pasangan
Pasangan penderita masokisme bisa saja yang pada awalnya merasa keberatan karena tersakiti kemudian, lama kelamaan karena rasa cinta yang dalam atau keadaan pasrah malah berbalik menjadi menikmati penyimpangan tersebut. Umumnya ada suatu trauma kejiwaan yang berhubungan dengan aktivitas seksual saat si penderita dalam masa pertumbuhan.
3. TERAPI
Treatment yang dapat diberikan yaitu:
a) Teknik psikoanalisis
Terapi Psikoanalisis efektif pada beberapa kasus. Sebagai hasil terapi, pasien menjadi menyadari bahwa kebutuhan menghukum diri sendiri adalah sekunder akibat perasaan bersalah bawah sadar yang berlebihan dan juga menjadi mengenali impuls agresif mereka yang terepressi, yang berasal dari masa anak-anak awal.
b) Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
c) Teknik Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.
d) Teknik Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.
e) Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.
Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):
1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.
2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.
4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).

Sumber :
Fausiah, F., Widury, J. (2006). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal Edisi Kelima. Penerbit Erlangga.
Penyimpangan Psikoseksual itu ada. (2007). http://cyberman.cbn.net.id/cbprtl/cyberman/detail.aspx?x=Men%27s+Guide&y=cyberman|0|0|6|1727 (diakses 18 Mei 2009)
Ramadhani, Arya V. (2008). Gangguan Seksual. http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/2008/04/vj27iv2008-gangguan-identitas-gender.html (diakses 18 Mei 2009 )
Sadomasokis,, kelainan seksual dipengaruhi kejiwaan.
http://www.acehforum.or.id/sadomasokis-kelainan-seksual-t19715.html?s=86bf7316ddaa5eec9fba8a79459a3abb&amp (diakses 18 Mei 2009)
http://medicastore.com/penyakit/170/Parafilia.html (diakses 18 Mei 2009)
http://www.psikomedia.com/art/print.php?id=55 (diakses 18 Mei 2009)
http://gugling.com/jenis-jenis-kelainan-seksual.html (diakses 18 Mei 2009)
http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0208/16/022753.htm (diakses 18 Mei 2009)
http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/25/24/157396/sadomasokis-kelainan-seksual-dipengaruhi-kejiwaan (diakses 18 Mei 2009)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS